Prediksi Harga Minyak dan Gas Dunia 2017 dan Dampak untuk Indonesia (1) Featured
- Written by Said Putra Ramadani
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Dr. Ardian Nengkoda *)
Spektrum
Dalam rentang waktu Januari sampai dengan Juli 2014, harga minyak dunia versi WTI (West Texas Intermediate) rata-rata selalu bertengger di atas 100 USD per barel, menikmati masa-masa terbaiknya. Bahkan pada 30 Juli 2014, harga minyak mentah masih tercatat di sekitar 104.3 USD per barel. Namun apa daya, dalam periode enam bulan berikutnya, tepatnya di akhir Januari 2015, harga minyak turun secara tajam ke level 44 USD per barel saja.
Perlu kita ketahui bersama, referensi WTI dari Amerika ini adalah salah satu rujukan (benchmark) harga minyak mentah di seluruh dunia, termasuk harga minyak mentah dari perut bumi Indonesia. Harga harian tertinggi minyak WTI dalam siklus 10 tahunan-nya bahkan pernah menyentuh puncak 145.3 USD per barel tertanggal 3 Juli 2008. Rujukan lain yang juga tak kalah populer selain WTI adalah Brent yang referensi-nya cukup populer untuk minyak yang berasal dari Laut Utara (North Sea) dengan target pasar Eropa.
Sejatinya, harga minyak mentah yang berkualitas tinggi merujuk pada dua faktor kualitas utama yaitu grade dengan kepadatan yang relatif rendah (low density) serta kandungan sulfur yang juga rendah (sweet). Dengan dua faktor utama ini, pembeli dapat memberikan harga yang layak pada jenis minyak yang beraneka jenis di pasar dunia. Pembeli akan memberikan harga yang layak kepada penjual jika kualitasnya bagus, namun pembeli akan mengajukan diskon jika kualitasnya adalah minyak berat dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Harga minyak Brent umumnya selalu di atas WTI sekitar 5 USD per barel dikarenakan kualitasnya yang premium. Namun, penyebab persis naik turunnya harga minyak merupakan cerita yang cukup kompleks, dampaknya apalagi. Melalui pemahaman bagaimana global crude oil pricing ini bekerja, kita tentunya berharap, bahwa kita mampu mengidentifikasi semua risiko, dampak serta mengolah berbagai macam potensi sumber energi yang kita miliki serta membuat strategi kebijakan ketahanan energy yang lebih baik untuk sebesarnya kemakmuran rakyat.
Fenomena super cycle?
Dalam tren penurunannya, harga minyak dunia (WTI) sempat menyentuh titik nadir terendahnya 26.2 USD pern barel pada 11 Februari 2016. Saat ini pertanggal 13 September 2016, harga minyak mentah masih di sekitar 44.9 USD per barel saja. Bahwa kemudian, harga minyak dunia mempengaruhi ekonomi global, ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri (Yale, 2015). Harga minyak mentah juga mempengaruhi harga dari produk hidrokarbon turunannya.
Jika kita perhatikan secara seksama dalam rentang 70 tahun-an industri perminyakan, tren harga minyak mentah rendah saat ini bukanlah untuk yang pertama kalinya terjadi. Namun, kali ini, cukup berbeda dan membuat heboh karena selama hampir 3,5 tahun berada dalam kisaran harga 90 USD per barel lalu terjerembab menjadi setengahnya dalam kurun dua bulan saja.
Beberapa analis kenamaan serta ekonomis mengatakan, bahwa fenomena rendahnya harga minyak yang menimpa saat ini bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Namun, tren ini merupakan suatu siklus normal yang berulang dinamakan “super cycle” dari suatu komoditas yang biasa dijual belikan dalam market (Julian Simon, 1980). Pakar ini menyebutkan bahwa teknologi akan selalu mampu meningkatkan pasokan suatu komoditas (dalam hal ini minyak) dengan memanfaatkan sumber daya–sumber daya baru yang sebelumnya tidak tersedia sehingga mengakibatkan harga komoditas akan jatuh karena berlebih nya pasokan.
Dan luar biasa, kali ini, prediksi Julian tersebut terbukti kembali. Sejatinya shale oil ini (minyak serpih) di Amerika bukanlah penemuan baru namun sebenarnya sudah ada selama 60 tahun. Namun, yang benar-benar baru adalah teknologi fracking (hydraulic fracturing technology atau teknologi rekah) telah jauh lebih baik dalam beberapa tahun terakhir. Berhasilnya teknologi di Amerika ini, bahkan mampu meningkatkan produksi minyak dua kali lipat hampir 4,5 juta barel per hari, sehingga secara keseluruhan produksi minyak Amerika mendekati 13 juta barel per hari. Kondisi inilah yang sejatinya membuat supply minyak mentah menjadi berlebih.
Harga minyak?
Timbulah pertanyaan paling mendasar untuk kita semua, faktor apa sajakah yang memengaruhi harga minyak ini? Apakah sesederhana prinsip supply (pasokan) dan demand (permintaan)? Ternyata tidak sesederhana itu, ada faktor lain yaitu sentimen pasar. Termasuk di antara nya adalah: kondisi tingkat produksi serta cadangan Amerika serta OPEC, geopolitik, kemampuan laten produksi beberapa negara penghasil minyak (Non-OPEC), faktor kekuatan mata uang Amerika, pertumbuhan ekonomi Cina, dan lainnya.
Dari kebutuhan minyak mentah dunia saat ini sekitar 90 juta barel per hari, supply dari negara negara OPEC hanya sekitar 34 juta saja sedangkan supply terbanyak di dominasi oleh negara Non OPEC termasuk Rusia dan Amerika. Data Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) menyebutkan, konsumsi dunia pada tahun 2015 mencapai 92,8 juta barel per hari (bph) naik 0,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Ada 15 negara dengan besar konsumsi melebihi 1,5 juta bph. Amerika Serikat di peringkat pertama dengan 19 juta bph, diikuti Cina (11,1) dan Jepang (4,3). Indonesia berada di peringkat 13 dengan konsumsi 1,6 juta bph.
Pada 2016, permintaan minyak diperkirakan terus tumbuh meski dengan persentase lebih kecil. Data SPE terbaru (September 2016), Q3-2016 ini mencatat bahwa pasokan minyak dunia adalah sekitar 96.4 juta barel per hari, sedangkan konsumsinya hanya sekitar 95.03 barel per hari saja sehingga masih ada kelebihan pasokan sekitar 1.4 juta barel per harinya. Meski baru-baru ini pada 27-29 September 2016 yang lalu OPEC sempat mengadakan pertemuan anggotanya di Aljazair dan sepakat untuk memangkas produksi sekitar 400 ribu barel per hari, kita bisa meilhat bersama bahwa harga minyak terlihat menggeliat naik ke posisi sekitar 49 USD per barel (WTI) per tangal 7 Oktober ini.
Berdasarkan sebaran cadangan minyak dunia (data: OPEC Annual Statistical Bulletin 2015), cadangan minyak anggota OPEC secara keseluruhan adalah sekitar 1.206 miliar barel (81 persen). Sedangkan negara-negara NON-OPEC sekitar 286,9 miliar barel (19 persen), sehingga tentunya kita bisa melihat sejauh mana anggota OPEC dapat memengaruhi harga minyak dunia mendatang.
Mari kita pahami pasar. Harga minyak versi WTI adalah rujukan komoditas bagi kontrak berjangka pendek New York Mercantile Exchange (NYMEX). Ya, dalam proses jual belinya di pasar (market) tadi, minyak mentah dianggap sebagai komoditi sama seperti emas, tembaga, nikel dan bahan tambang lainnya. Dalam kenyataannya, kesepakatan harga minyak mentah antara pembeli dan penjual berlaku untuk suatu kontrak berjangka ke depan (futures) antara 1-3 bulan. Setidaknya ada dua jenis pedagang (trader) berjangka ini, yaitu hedgers (yang betul betul butuh dan membeli komoditi) dan spekulan.
Kenyataannya yang terjadi dalam lantai bursa, transaksi jual-beli lebih banyak didominasi oleh spekulan dibanding hedgers. Sebagai contoh, harga minyak harian WTI pada bulan September 2015 adalah 44 USD per barel, sedangkan produksi minyak mentah Amerika pada bulan itu adalah sebanyak 9.1 juta barel per hari dengan kebutuhan sekitar 19 juta barel minyak. Sedangkan selang lima bulan saja, pada Februari 2016, produksi minyak Amerika juga tetap pada level 9.1 juta barel namun harga minyak saat itu jatuh di sekitar 28 USD per barel. Lah kok bisa? Di sinilah perlunya kita memahami faktor faktor yang mempengaruhi harga minyak dalam upaya meningkatkan ketahanan negeri kita terhadap migas.
Per tanggal 7 Oktober 2016 harga minyak bumi (WTI) sudah naik ke sekitar 49 USD dibandingkan dengan harga akhir September sebelum pertemuan OPEC, harga minyak mentah bulan Oktober ini merujuk pada harga yang akan dikirim pada bulan November 2016 mendatang. Kita patut duga, bahwa naiknya harga minyak secara perlahan namun tidak secara cepat adalah karena pengaruh OPEC, data cadangan minyak (crude stock pile) Amerika yang sedikit menurun, bersamaan itu bisa jadi ada swing production dari negeri penghasil minyak lain yang coba mengisi kekosongan 400 ribu barel OPEC tadi. Sementara itu shale oil di Amerika dengan teknologi fracking-nya pun masih belum bisa tampil kembali karena ke-ekonomian nya ada di level 60 USD per barel.
Kondisi kita
Bagaimana dengan Indonesia? Perekonomian Indonesia hingga saat ini masih sangat tergantung pada minyak. Karena, selain sebagai produsen minyak, Indonesia juga sebagai pengimpor minyak. Begitu pula dengan kontribusinya untuk APBN, saat ini, migas berkontribusi untuk sekitar 15 persen dari pendapatan domestik.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data neraca perdagangan atau data ekspor dan impor sepanjang Agustus 2016, berdasarkan data BPS teranyar, neraca perdagangan pada bulan Agustus disimpulkan mengalami surplus sebesar 293,6 juta USD. Secara spesifik terkait migas, ekspor migas tercatat mengalami kenaikan sebesar 12,95 persen secara month to month dari 1 miliar USD pada Juli lalu menjadi 1,13 miliar USD pada Agustus 2016. Sementara itu, impor migas naik sebesar 16,55 persen dibandingkan bulan Juli 2016 dari 1,51 miliar USD menjadi 1,76 miliar USD.
Meski tercatat tren surplus neraca perdagangan ini adalah untuk yang ke-8 kalinya secara berturut-turut sepanjang tahun 2016, namun ada kemungkinan kuat bahwa rendahnya harga minyak dunia yang anjlok saat ini di kisaran 40-45 USD per barel menjadi faktor eksternal. Paradigma kita harus berubah, kita bukan penghasil minyak besar, kita importer sehingga kesadaran masyarakat akan energi ini menjadi penting. Secara kontras, kita hanya menghasilkan minyak mentah sekitar 800 ribu barel per hari. Sedangkan impornya sekitar 1 juta barel per hari dan konsumsi sekitar 1.4 juta BBM perhari (data ESDM, 2016).
Bagaimana hitungan ketahanannya? Idealnya pemenuhan kebutuhan minyak nasional dipasok dari produksi minyak mentah nasional saja. Faktanya kan tidak. Kita juga impor minyak mentah dan impor produk kilang dimana dalam konteks neraca minyak. Pasokan adalah harus sama dengan konsumsi yaitu merupakan penjumlahan dari input kilang (minyak mentah nasional dan minyak mentah impor) ditambah dengan impor produk kilang dan dikurangi ekspor produk kilang. Tambahan kapasitas kilang saat ini sayangnya tidak diimbangi oleh peningkatan produksi minyak mentah di Indonesia.
Dalam kalkulasi neraca minyak nasional ini, stok memerankan fungsi balancing (penyeimbang) untuk memenuhi kebutuhan ataupun bilamana terjadi kelebihan pasokan, maka akan dimasukkan sebagai buffer (cadangan). Sehingga, definisi strategi ketahanan energi kita, bisa dimulai dari status neraca ini.
Kebijakan energi nasional harus tepat sasaran serta harus mampu mendukung pembangunan, bukan hanya sebagai sumber devisa. Ancaman krisis energi ini serius dan bukan cerita fiktif sehingga seluruh rakyat Indonesia harus memahaminya secara proporsional.
Tulisan ini adalah bagian pertama dari tiga bagian, membahas prediksi harga minyak dunia di tahun 2017, juga tentang harga gas serta hal-hal strategik apa yang telah kita pelajari dari situasi global dan dampak untuk Indonesia dalam jangka pendek.
*) Pemerhati ketahanan energi, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Timur Tengah. WNI dan tinggal di Arab Saudi.